Senin, 23 Mei 2011

Nilai Minyak dalam Revolusi Arab




Sebuah landang minyak di Shaybah, Arab Saudi.

(Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir) Seiring berkobarnya revolusi Arab saat ini, sikap Barat dalam mendukung revolusi itu kerap ditengarai bertujuan menguasai minyak. Tuduhan itu khususnya dilayangkan terhadap aksi militer NATO di Libya saat ini. Tuduhan serupa pernah dialamatkan kepada AS dan Inggris ketika menginvasi Irak tahun 2003.
Tuduhan tersebut sesungguhnya masih bisa dipertanyakan kebenarannya meskipun tidak sepenuhnya salah.
Sebagian besar ekspor minyak dunia Arab memang ke Barat, tetapi tetap dalam konteks transaksi dagang normal secara saling menguntungkan. Contoh kasus, minyak Libya. Sebanyak 83 persen ekspor minyak Libya pada era Moammar Khadafy diekspor ke dunia Barat, dengan perincian 77 persen ekspor ke negara Eropa dan 6 persen ke AS. Sisanya dikirim ke China, Brasil, dan negara lain.
Volume ekspor minyak Libya ke dunia Barat pasca-tumbangnya Khadafy dipastikan tidak akan berubah. Artinya, Barat sudah menguasai pasar minyak Libya, baik pada era Khadafy maupun jika Khadafy tumbang.
Jika logikanya demikian, buat apa Barat—dalam hal ini NATO—bersusah payah dengan biaya besar menggebuk mesin militer Khadafy hanya untuk minyak. Toh, Barat sudah menguasai pasar minyak Libya pada era Khadafy selama ini.
Bahkan, Khadafy menawarkan untuk melakukan transaksi kembali penjualan minyak yang lebih menguntungkan Barat asalkan dia tetap diberi kesempatan berkuasa di Libya. Namun, Barat menolak tawaran Khadafy, dan sebaliknya mendukung kubu oposisi (Dewan Nasional Transisi/TNC) yang berbasis di Benghazi.
Contoh kasus lain adalah minyak Irak. Ketika Pemerintah Irak membuka 11 tender proyek investasi di sektor minyak pada awal tahun 2009, sebagian besar perusahaan yang memenangi tender justru bukan dari Barat, melainkan dari China, Turki, Rusia, Jepang, Korea, dan Malaysia.
Pemerintah Irak pun mendapatkan keuntungan lebih besar dalam transaksi tersebut dibandingkan keuntungan yang diraih Pemerintah Irak pada era Saddam Hussein.
Selain itu, transaksi Pemerintah Irak dan perusahaan-perusahaan minyak itu dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan disiarkan langsung oleh media elektronik. Berbeda dengan transaksi investasi minyak pada era Saddam Hussein yang selalu dilakukan secara tertutup karena dianggap bagian dari keamanan nasional.
Jika aksi AS dan Inggris menggulingkan Saddam Hussein hanya untuk tujuan menguasai minyak sepenuhnya, maka tujuan itu gagal dicapai.
Bahkan, AS gagal menekan kekuatan-kekuatan politik di Irak agar menyetujui kesepakatan mekanisme pembagian devisa dari minyak antara pemerintah pusat dan provinsi. Sebagian kekuatan politik di Irak masih curiga ada pihak-pihak asing yang akan memanfaatkan peluang itu jika kesepakatan pembagian devisa tersebut disetujui.
Pada era Presiden George W Bush, malah ada seorang senator ekstrem dari Partai Republik yang meminta Presiden Bush agar menguasai langsung sumur-sumur minyak di Irak setelah AS menumbangkan rezim Saddam Hussein pada tahun 2003. Namun, Presiden Bush menolak permintaan itu.
Kebijakan klasik
Meski demikian, bukan berarti AS dan Barat sama sekali mengabaikan nilai strategis minyak itu. Dalam kebijakan klasik AS dan Barat di Timur Tengah sangat dikenal bertumpu pada dua hal sakral yang harus dilindungi berapa pun mahal harganya yang harus dibayar, yaitu keamanan Israel dan minyak.
Dalam konteks isu minyak, AS dan Barat memilih tidak menguasai langsung sumur-sumur minyak seperti era kolonial dulu, tetapi bertumpu pada terwujudnya dua hal. Pertama, terjaminnya arus suplai ekspor minyak tanpa kendala apa pun dengan harga yang rasional dari Timur Tengah ke pasar Barat. Kedua, amannya sumur-sumur minyak dari kontrol atau pengaruh langsung kekuatan internasional atau regional anti-Barat.
Dua hal tersebut sudah dinikmati Barat secara penuh pada era pemerintahan diktator selama ini, tetapi belum tentu pada era demokrasi nanti.
Inilah bagian dari tujuan perjuangan Barat mendukung sekuat tenaga revolusi Arab yang sudah tak bisa dibendung lagi, yaitu tetap terwujudnya dua hal tersebut pada era demokrasi nanti. Dari sini, kita bisa memahami mengapa Presiden AS Barack Obama dalam pidato hari Kamis pekan lalu menekankan sangat mendukung revolusi Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar