Kamis, 30 Juni 2011

Monumen Hidup Seni Dongkrek Madiun




DOEROKIM
Runik Sri Astuti
KOMPAS.COM--Usianya hampir 81 tahun. Namun, semangatnya masih seperti pria berusia 30-an tahun saat Doerokim membicarakan seni Dongkrek. Semangat yang tidak pernah layu ini menjadi monumen hidup bagi perjuangan Doerokim. Dialah pelaku, pesohor, dan pelestari seni tradisional asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur, itu.
Dulu, Dongkrek berjaya antara lain sebagai ritual yang dipercaya sebagian masyarakat mampu mengusir makhluk halus pembawa penyakit. Saat penjajah Belanda berkuasa, Dongkrek mulai tersingkir. Setelah penjajah pergi, Dongkrek justru kian tenggelam.
Salah satu penyebabnya, nenek moyang kita belum mengenal teknik pendokumentasian. Doerokim mengatakan, jejak Dongkrek yang masih terekam dalam ingatan sebagian masyarakat adalah musiknya yang khas dengan suara ”dung” dan ”krek”.
Suara itu berasal dari alat musik kendang dan korek. Bentuk korek sederhana, berupa kayu bujursangkar yang salah satu sisinya diberi tangkai kayu bergerigi. Bila digesek, bagian ini mengeluarkan bunyi ”krek”.
Dongkrek mewujud dalam sosok manusia bertopeng. Sedikitnya ada tiga karakter manusia, yakni sosok lelaki sebagai ksatria, sosok perempuan, dan sosok genderuwo (makhluk halus yang jahat).
Ksatria merupakan perwujudan tokoh Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro, demang sakti penjaga desa. Topeng perempuannya berwujud wewe putih berekspresi merot. Wewe putih menggambarkan bangsa lelembut yang baik, sosok yang membantu manusia memerangi makhluk penyebab penyakit.
Ketika menghidupkan kembali Dongkrek pada 1975, Doerokim menonjolkan kesenian tradisi itu sebagai seni pertunjukan untuk memberi hiburan bagi masyarakat. Maka, undangan pentas yang datang padanya pun umumnya berkaitan dengan hajatan, nazar, dan peringatan 1 Syuro.
Setiap kali pentas, Dongkrek didukung 27-30 pemain dan pemusik. Anggotanya berasal dari pencinta seni tradisi yang bermodal ketulusan dan keikhlasan tanpa menuntut pamrih. Mereka justru harus rela merogoh kocek sendiri demi menghidupkan Dongkrek.
Naskah beraksara Jawa
Jadilah rumah Doerokim di Jalan Prawirodipuran, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, tempat berkumpul para seniman Dongkrek. Di halaman rumah itu terpasang papan kayu bertuliskan ”Paguyuban Dongkrek Madiun”. Tempat ini menjadi saksi perjuangan mereka menghidupkan kembali Dongkrek sesuai aslinya.
Dikatakan ”asli” karena Doerokim menggali Dongkrek dari berbagai sumber. Ia antara lain mewawancarai keturunan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro, membaca naskah beraksara Jawa berbahasa Kawi, hingga bersemedi.
Menurut dia, Dongkrek berkisah tentang penyakit yang menyebabkan banyak orang mati. Alkisah Demang Mejayan, Raden Ngabeli Lo Prawirodipuro, bertapa memohon kesembuhan kepada Yang Maha Esa. Selama bersemedi, Ngabehi digoda gerombolan makhluk halus yang jahat.
Ngabehi juga didatangi wanita dan lelaki tua yang memberinya seutas janur kuning. Janur itu dicambukkan kepada para pengganggu yang akhirnya minta ampun dan patuh kepada Ngabehi. Maka, terbebaslah warga dari sakitnya.
Bersamaan dengan upaya pencarian Dongkrek itu, Doerokim mengampanyekan seni tradisi tersebut kepada masyarakat, khususnya anak muda. Silih berganti pelajar dari tingkat SD, SMP, hingga SMA berguru Dongkrek kepada Doerokim.
Jadilah rumah Doerokim menjadi tempat masyarakat berlatih Dongkrek. Demi menarik anak muda pula, Dongkrek mengalami perkembangan. Misalnya, musik asli Dongkrek kemudian berpadu dengan organ, piano, maupun gitar.
Selain mengajarkan seni Dongkrek, Doerokim juga memasukkan falsafah hidup yang menjadi makna seni tradisi itu. Misalnya, kepada para murid dia mengajarkan tentang pentingnya meneladani perilaku Ngabehi.
”Kita harus memenangkan perang dengan setan. Manusia harus menang melawan hawa nafsunya sendiri. Dia harus mampu mengendalikan amarah dan kerakusan,” katanya.
”Hati dan pikiran kita harus jernih agar menghasilkan ucapan yang bagus. Untuk mencapainya, manusia harus melihat hal-hal yang baik. Seorang pemeran tokoh Raden Ngabehi harus mengamalkan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari supaya berkah,” ujarnya.
Keliling kampung
Perkenalan Doerokim dengan Dongkrek terjadi lebih dari 30 tahun lalu kala dia ditugaskan menjadi kepala desa di Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan. Ia terpesona mendengar suara krek-dung yang ditabuh keliling kampung sebagai pengiring orang meronda.
Dia penasaran kala tak juga mendapatkan jawaban memuaskan tentang Dongkrek dari warga yang memainkannya. Ia tergerak untuk menggali lebih jauh sejarah Dongkrek. Ia menghabiskan puluhan tahun menelusuri sejarah Dongkrek.
Di usia senja, Doerokim tak ingin melihat Dongkrek meredup lagi. Ia berharap rumahnya tetap ramai dikunjungi penggemar Dongkrek. Demi mewujudkan cita-cita itu, Ketua Paguyuban Dongkrek Krido Sakti ini mau membangun sanggar seni Dongkrek di teras rumah. Dia berharap, dengan begitu anak muda tertarik mempelajari Dongkrek.
Satu hal yang membuatnya sedih, banyak seni tradisi di Tanah Air terancam punah. Penyebabnya antara lain minimnya minat anak muda dan ketidakmampuan seni tradisi menjadi sandaran hidup yang menjanjikan. Padahal, setiap bentuk seni itu punya nilai tersendiri.
Sebagai pejuang kemerdekaan, Doerokim pun prihatin melihat rendahnya nasionalisme bangsa, terutama di bidang seni budaya. ”Jangankan menggali budaya yang sudah punah, mempertahankan budaya yang masih ada saja tidak dilakukan,” katanya.
Selagi masih bisa, Doerokim selalu mengingatkan anak muda yang ditemuinya agar tidak melupakan sejarah bangsa. Dalam berbagai kesempatan, dia selalu menyelipkan cerita tentang kebesaran leluhur bangsa ini lengkap dengan nilai-nilai kemanusiaannya.
Pesan yang dia sampaikan antara lain agar anak muda menghindari jauh-jauh perbuatan yang jelas-jelas merugikan orang lain, seperti berbuat curang, korupsi, membunuh, merampok, dan mencuri.
”Sejak dulu leluhur kita sudah mengingatkan, setiap perbuatan manusia pasti ada konsekuensinya. Siapa yang berbuat jahat akan menuai hasil yang buruk. Siapa yang berbuat kebaikan pasti mendapatkan manfaat meskipun itu datang belakangan,” ujar Doerokim.
Doerokim
• Lahir: Malang, Jawa Timur, 1 Juli 1930 • Istri: Sriyati • Anak: 6 orang • Pendidikan: - Sekolah Rakyat (kelas 5), 1944 - Lembaga Pengetahuan Umum, Surabaya, 1952 • Karier: - Badan Keamanan Rakyat (BKR), 1945 - Pelatih Tentara di Korem Madiun, 1965 - Komandan Peleton Perawatan di Madiun, 1964 - Komandan Peleton Tempur di Madiun, 1965-1967 - ”Caretaker” Kepala Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Madiun, 1975 - Pensiun dengan pangkat letnan dua, 1982 - Ketua Paguyuban Dongkrek Krido Sakti, Madiun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar