Jakarta, Kompas - Meningkatnya kasus kegemukan pada anak balita akan memicu peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, kelainan otot, hingga kelainan pernapasan. Namun, dampak ini tidak muncul seketika pada anak.
”Kegemukan bukan penyakit infeksi, tetapi bersifat kronis yang dampaknya muncul saat mereka dewasa,” kata dokter spesialis anak dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rini Sekartini, Sabtu (23/4) di Jakarta.
Penyakit-penyakit itu muncul bersama dengan penurunan metabolisme tubuh akibat kegemukan. Namun, dampak ini dapat dikurangi jika kegemukan pada anak balita segera tertangani.
Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, prevalensi kegemukan balita Indonesia mencapai 14 persen. Survei serupa tahun 2007 menunjukkan, prevalensi balita gemuk baru 12,2 persen. Prevalensi kegemukan tertinggi ditemukan di Jakarta, yaitu 19,6 persen.
Namun, penelitian oleh Unit Riset Kedokteran FKUI di empat taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini di Jakarta tahun 2011 menunjukkan, prevalensi kegemukan anak usia 3-6 tahun lebih dari 20 persen. Jumlah ini diperkirakan meningkat dua kali lipat saat balita mencapai usia remaja.
Menurut dosen Departemen Ilmu Gizi FKUI dan anggota Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia, Saptawati Bardosono, dalam seminar gizi beberapa waktu lalu, salah satu penyebab kegemukan pada anak Jakarta adalah pola makan tak berimbang.
Kelebihan kalori disebabkan banyaknya konsumsi gula, sementara kelebihan protein dipicu banyaknya konsumsi susu. Sejumlah anak yang diteliti mengonsumsi susu hingga delapan gelas per hari.
Kondisi ini membuat asupan zat gizi lain menjadi kurang karena sifat susu yang mengenyangkan. Apalagi susunya jenis full cream (tinggi lemak) dan ditambah gula.
Idealnya, menurut Saptawati, makanan yang dikonsumsi mengandung 50 persen karbohidrat, 20 persen protein, dan 30 persen lemak. ”Konsumsi lemak anak balita Jakarta lebih dari 30 persen,” katanya.
Untuk mengatasi kegemukan pada balita, Rini menyarankan agar orangtua dan sekolah rutin memantau berat badan anak. Aktivitas fisik anak perlu ditambah, selain mengontrol dan menjaga keseimbangan makanan anak. ”Kuncinya, antara kalori yang masuk dan keluar harus seimbang,” kata Rini.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan, kegemukan menjadi persoalan serius bagi banyak negara. Kegemukan membuat biaya kesehatan yang harus ditanggung negara meningkat pesat. Kegemukan bukan hanya persoalan negara maju, tetapi juga negara berkembang akibat pola makan yang salah.
”Kegemukan bukan penyakit infeksi, tetapi bersifat kronis yang dampaknya muncul saat mereka dewasa,” kata dokter spesialis anak dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rini Sekartini, Sabtu (23/4) di Jakarta.
Penyakit-penyakit itu muncul bersama dengan penurunan metabolisme tubuh akibat kegemukan. Namun, dampak ini dapat dikurangi jika kegemukan pada anak balita segera tertangani.
Riset Kesehatan Dasar 2010 menunjukkan, prevalensi kegemukan balita Indonesia mencapai 14 persen. Survei serupa tahun 2007 menunjukkan, prevalensi balita gemuk baru 12,2 persen. Prevalensi kegemukan tertinggi ditemukan di Jakarta, yaitu 19,6 persen.
Namun, penelitian oleh Unit Riset Kedokteran FKUI di empat taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini di Jakarta tahun 2011 menunjukkan, prevalensi kegemukan anak usia 3-6 tahun lebih dari 20 persen. Jumlah ini diperkirakan meningkat dua kali lipat saat balita mencapai usia remaja.
Menurut dosen Departemen Ilmu Gizi FKUI dan anggota Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia, Saptawati Bardosono, dalam seminar gizi beberapa waktu lalu, salah satu penyebab kegemukan pada anak Jakarta adalah pola makan tak berimbang.
Kelebihan kalori disebabkan banyaknya konsumsi gula, sementara kelebihan protein dipicu banyaknya konsumsi susu. Sejumlah anak yang diteliti mengonsumsi susu hingga delapan gelas per hari.
Kondisi ini membuat asupan zat gizi lain menjadi kurang karena sifat susu yang mengenyangkan. Apalagi susunya jenis full cream (tinggi lemak) dan ditambah gula.
Idealnya, menurut Saptawati, makanan yang dikonsumsi mengandung 50 persen karbohidrat, 20 persen protein, dan 30 persen lemak. ”Konsumsi lemak anak balita Jakarta lebih dari 30 persen,” katanya.
Untuk mengatasi kegemukan pada balita, Rini menyarankan agar orangtua dan sekolah rutin memantau berat badan anak. Aktivitas fisik anak perlu ditambah, selain mengontrol dan menjaga keseimbangan makanan anak. ”Kuncinya, antara kalori yang masuk dan keluar harus seimbang,” kata Rini.
Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan, kegemukan menjadi persoalan serius bagi banyak negara. Kegemukan membuat biaya kesehatan yang harus ditanggung negara meningkat pesat. Kegemukan bukan hanya persoalan negara maju, tetapi juga negara berkembang akibat pola makan yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar