Minggu, 22 Mei 2011

Mengukur Kandungan Karbon Taman Nasional




Dua perkebunan besar seluas 2.000 hektar dan 3.153 penduduk yang sudah ada lebih dulu dalam Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, sebelum ditetapkan menjadi Taman Nasional.

JEMBER, KOMPAS.com - Sedikitnya 60 orang aktivis pecinta lingkungan bersama tokoh masyarakat, petani, lembaga swadaya masyarakat dan staf Taman Nasional Meru Betiri melakukan pengukuran kandungan karbon. Hasil temuan kelompok masyarakat, tercatat kandungan karbon di kawasan taman nasional itu sebesar 170 ton hingga 300 ton per hektar dalam kurun waktu tahun 2011.
Ini diungkapkan kepala Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Bambang Darmadja dan Koordinator Peneliti Gas Rumah Kaca Kantor Kementerian Kehutanan Ari Wibowo di Bandealit, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jawa Timur, Rabu (27/4/2011). Kelompok masyarakat itu sudah bisa mengukur sendiri kandungan karbon yang terdapat di kawasan hutan taman nasional, kata Bambang Darmadja.
Sebanyak 60 kader konservasi terlatih menghitung kandungan karbon itu, sebagian besar atau 70 persen adalah kelompok tani atau pemanfaat hutan kawasan taman nasional, Lembaga Swadaya Masyarakat Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), sidanya dari staf TNMB. "Kami menghitung kandungan karbon pada 40 plot di dalam kawasan taman nasional dan setiap plot luasnya 20 x 100 meter," kata Suparman, dari kelompok tani.
Ia mengakui, tiap plot kawasan hutan di taman nasional memiliki perbedaan vegetasi sehingga antara satu vegetasi dengan lainnya memiliki kandungan karbon berbeda. Hasil pengukuran itu, terendah sekitar 170 juta ton karbon dalam tahun ini, sedang tertinggi ada yang sampai 300 ton per-hektar tahun ini.
Padahal luas kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara administratif meliputi dua wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Banyuwangi dan Jember sekitar 58.000 hektar. "Namun secara keseluruhan kandungan karbon sumbangan dari Taman Nasional Meru Betiri masih dihitung," kata Ari Wibowo.
Untuk itu, TNMB bekerja sama dengan Intrenastional Tropical Timber Organistion (ITTO) yang berkedudukan di Jepang ingin meningkatkan kemampuan agar kandungan karbon menjadi lebih tinggi lagi. Untuk itu, mereka memanfaatkan kelompok masyarakat dan siswa sekolah dasar supaya melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan dan perkampungan.
Menurut Ari Wibowo, sejak tahun 2000-2005 terjadi pengalihan fungsi hutan setiap tahunnya sekitar 1,2 juta hektar. Sebelum itu, angka pengalihan fungsi hutan justru lebih tinggi. Untuk itu, melalui Reducing Emition from Deforestation and Degradation (REDD) diharapkan mampu memberi jawaban kepada dunia akan kesungguhan Indonesia memperbaiki lingkungan dengan memperbanyak kandungan karbon.
Caranya dengan melakukan penanaman pohon sebanyak-banyaknya, baik di kawasan konservasi maupun lahan milik masyarakat. "Makanya program satu milyar penenaman pohon harus benar-benar dilakukan," kata Bambang Darmadja.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar