Sabtu, 21 Mei 2011

Obat Mahal Belum Tentu Terbaik


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketidaktahuan pasien akan obat yang dibutuhkan, ditambah dengan membanjirnya berbagai jenis obat di pasaran, membuat pasien sering mengejar obat yang harganya mahal. Bagi sebagian besar pasien, harga mahal dianggap menjadi jaminan khasiat yang manjur.
Menurut Prof Iwan Dwiprahasto, Guru Besar Farmakologi dan Terapi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pertimbangan ekonomi perlu diperhatikan dalam menimbang jenis obat.
"Harga mahal bukan jaminan, perhatikan outcome yang kita dapatkan dari harga yang kita keluarkan," katanya di sela acara diskusi "Penatalaksanaan dan Pembiayaan Kanker di Indonesia" yang diadakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan PT Roche di Jakarta, Rabu (11/5/2011).
Selain harga obat, perlu ditimbang juga ongkos-ongkos lainnya, misalnya lama sedikitnya waktu untuk sembuh serta efek samping yang mungkin timbul. "Kita justru rugi jika memilih obat murah, tapi lama sembuh sampai dua minggu. Lebih baik yang agak mahal sedikit, tetapi setelah seminggu sudah bisa produktif lagi mencari uang," imbuhnya.
Ia menambahkan, prinsip menimbang-nimbang itu harus memerhatikan tiga faktor. Pertama adalah hasil klinis, yang meliputi efek samping serta efikasi obat. "Jangan sampai kita juga harus mengeluarkan biaya lebih untuk mengatasi efek samping obat-obatan itu," paparnya.
Pertimbangan kedua adalah sisi ekonomis atau jumlah biaya, dan terakhir adalah faktor humanistik yang meliputi rasa kepuasan pasien dan keyakinan untuk sembuh.
"Prinsip cost-efective dalam memilih obat bukanlah memilih yang termurah, pilih yang harganya terjangkau, tetapi efektivitasnya sama dengan obat yang mahal," katanya.
Dalam pengobatan kanker, ia mengatakan bahwa tidak semua obat cocok untuk setiap orang. "Manjur tidaknya obat dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari diagnosis, tahap penyakit, usia, dan kondisi kesehatannya secara umum," imbuhnya.
Ia mengatakan, biaya terapi yang tinggi dan terpaksa menguras sumber-sumber dana yang ada juga tidak bisa menjadi pilihan jika justru hanya memperpanjang penderitaan pasien.
"Buat apa mengeluarkan dana besar untuk menambah dua bulan usia pasien, tetapi kualitas hidupnya buruk. Itu sama saja dengan menambah penderitaannya," katanya.
Menurut Dr dr Djumhana Atmakusuma, Sp.PD, KHOM dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, pasien dan keluarga sering kali bersikap tidak rasional dalam pengobatan kanker.
"Semua hal akan dilakukan untuk mencari kesembuhan, bahkan meski harga obatnya sangat mahal. Rasionalitas dikalahkan oleh keinginan untuk membantu pasien," katanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar